Perang
Perang Belum Reda : Darah Dan Jeritan Di Tanah Perbatasan

Perang Belum Reda : Darah Dan Jeritan Di Tanah Perbatasan

Perang Belum Reda : Darah Dan Jeritan Di Tanah Perbatasan

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Perang
Perang Belum Reda : Darah Dan Jeritan Di Tanah Perbatasan

Perang Belum Reda, Kini Perbatasan Thailand Dan Kamboja Kembali Menjadi Saksi Bisu Pertempuran Yang Menyisakan Duka Yuk Kita Bahas Bersama. Deru mortir dan letupan senapan menggantikan nyanyian alam di wilayah sengketa itu. Sejak 24 Juli 2025, konflik antara dua negara Asia Tenggara ini telah menewaskan puluhan orang, sebagian besar dari mereka adalah warga sipil yang tak tahu-menahu soal sengketa tapal batas.

Ketegangan yang di picu oleh saling klaim atas kawasan sekitar kompleks candi kuno Ta Muen Thom memuncak menjadi baku tembak terbuka. Laporan dari lapangan menyebutkan bahwa lebih dari 30 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Di sisi lain, lebih dari 138 ribu warga Thailand telah di evakuasi, sementara ribuan warga Kamboja juga di laporkan mengungsi dari desa-desa di sekitar perbatasan.

Sulastri, seorang relawan kemanusiaan asal Indonesia yang kini berada di Sisaket, Thailand, menggambarkan situasi sebagai “neraka kecil di bumi.” Ia menyaksikan sendiri anak-anak menangis di tengah tenda pengungsian, wanita-wanita hamil tanpa akses medis, dan orang tua yang kehilangan keluarganya dalam semalam. “Tangisan mereka tidak mengenal bahasa. Ini bukan hanya konflik antar negara, ini tragedi kemanusiaan,” ujarnya dalam sambungan video ke media Perang.

Pemerintah kedua negara saling tuding sebagai pemicu konflik. Thailand menyatakan bahwa pihaknya hanya merespons serangan artileri dari pasukan Kamboja. Sebaliknya, Kamboja menuduh Thailand melanggar wilayah kedaulatan yang telah di tetapkan Mahkamah Internasional sejak 2013. Perselisihan yang telah lama di pendam itu akhirnya meledak dalam situasi geopolitik yang rapuh. Kecaman datang dari berbagai penjuru dunia. PBB dan ASEAN mendesak gencatan senjata segera, sementara Amerika Serikat melalui mantan Presiden Donald Trump ikut turun tangan menawarkan mediasi Perang.

Konflik Bersenjata Antara Thailand Dan Kamboja Yang Meletus Sejak 24 Juli 2025

Dalam era digital, perang tidak hanya terdengar dari dentuman meriam dan ledakan peluru, tetapi juga dari linimasa media sosial yang hiruk-pikuk dengan opini, kekhawatiran, dan kecaman. Konflik Bersenjata Antara Thailand Dan Kamboja Yang Meletus Sejak 24 Juli 2025 memicu reaksi luar biasa dari warganet, baik dari dalam kawasan Asia Tenggara maupun masyarakat internasional.

Di platform X (dulu Twitter), tagar seperti #PrayForThailand, #CambodiaWar, dan #StopTheBorderWar menjadi trending topik global. Ribuan pengguna membagikan video amatir dari lokasi konflik, memperlihatkan warga sipil yang terluka, rumah yang hangus terbakar, hingga suara tangisan anak-anak di tempat pengungsian. Banyak yang mengaku terkejut melihat betapa cepatnya konflik bisa memburuk di wilayah yang selama ini di anggap relatif stabil.

“Saya pikir ASEAN sudah cukup kuat untuk mencegah ini. Nyatanya, kita kembali melihat warga sipil jadi korban,” tulis seorang pengguna X dari Filipina. Komentar ini di amini banyak warganet lain yang mempertanyakan efektivitas peran ASEAN sebagai penjaga stabilitas kawasan.

Dari Indonesia, nada keprihatinan dan empati juga menggema. Sejumlah influencer dan publik figur mengajak pengikutnya untuk turut menggalang donasi bagi para pengungsi yang terdampak. Di TikTok, beredar konten edukatif tentang sejarah sengketa Preah Vihear dan kompleks candi yang menjadi akar dari konflik ini. Edukasi publik pun muncul dari kanal-kanal YouTube independen yang mengupas konflik ini dari perspektif sejarah, politik, dan kemanusiaan. Namun, tidak sedikit pula warganet yang menyoroti aspek manipulasi informasi. “Banyak akun palsu menyebarkan hoaks, seolah-olah kedua negara sedang saling genosida. Padahal banyak warga sipil hanya ingin perdamaian,” ujar seorang netizen asal Kamboja dalam unggahan Facebook-nya yang viral. Sementara itu, sebagian besar warganet menyerukan agar perang segera di hentikan.

Kami Tidak Menginginkan Perang

Pemerintah Thailand akhirnya angkat bicara secara resmi terkait konflik bersenjata yang pecah di perbatasan dengan Kamboja sejak 24 Juli 2025. Dalam pernyataan pers yang di sampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Pertahanan Thailand, Letjen Phawat Charoensuk, pemerintah menegaskan bahwa seluruh tindakan militer yang di lakukan adalah bentuk respon defensif atas serangan awal dari pasukan Kamboja. “Kami Tidak Menginginkan Perang. Namun, ketika peluru dan roket mendarat di tanah kami dan mengancam warga sipil kami, Thailand tidak memiliki pilihan lain selain melindungi kedaulatan negara dan keselamatan rakyatnya,” ujar Charoensuk dalam konferensi pers di Bangkok, 26 Juli lalu.

Pemerintah Thailand juga menegaskan bahwa seluruh operasi militer yang di lancarkan tetap mematuhi hukum humaniter internasional, dan tidak secara sengaja menargetkan fasilitas sipil. Mereka menuduh pihak militer Kamboja menggunakan desa-desa di sekitar candi Ta Muen Thom sebagai basis serangan, yang membuat konflik tak terhindarkan menyentuh wilayah padat penduduk.

Dalam keterangan tambahan dari Kementerian Luar Negeri Thailand, di sebutkan bahwa negara ini terbuka untuk dialog damai dan bersedia menghadiri perundingan yang di inisiasi oleh ASEAN maupun pihak ketiga seperti Amerika Serikat. Namun, Thailand juga menyampaikan keprihatinan atas ketidakkonsistenan Kamboja dalam menghormati keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) terkait sengketa wilayah yang telah di putuskan sejak 2013.

“Thailand tetap berkomitmen pada solusi damai, namun kami tidak akan mengorbankan integritas teritorial kami,” tegas Menteri Luar Negeri Thailand, Surapong Yuthawong, dalam siaran nasional. Sementara itu, Perdana Menteri Thailand, Prayut Anusorn, yang menghadiri rapat darurat keamanan nasional, menyampaikan duka cita mendalam atas jatuhnya korban jiwa, khususnya dari kalangan warga sipil.

Kamboja Menunjukkan Niat Untuk Tidak Memperpanjang Konflik

Pemerintah Kerajaan Kamboja menyampaikan tanggapan resmi terkait konflik mematikan yang meletus di perbatasannya dengan Thailand. Dalam konferensi pers yang di gelar di Phnom Penh pada 26 Juli 2025, Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet. Menuduh pihak militer Thailand melakukan pelanggaran serius terhadap wilayah kedaulatan negaranya dan menyatakan bahwa Kamboja hanya bertindak membela diri.

“Pasukan Thailand telah melintasi garis perbatasan yang jelas, memasuki wilayah kami, dan melancarkan tembakan ke arah desa-desa penduduk. Kami tidak punya pilihan selain mempertahankan tanah air kami,” ujar Hun Manet dengan nada tegas.

Kamboja mengklaim bahwa beberapa desa dan kompleks budaya, termasuk area dekat kuil Ta Muen Thom. Telah menjadi sasaran tembakan berat dari pihak Thailand. Serangan tersebut, menurut Kementerian Pertahanan Kamboja. Menyebabkan kematian warga sipil termasuk anak-anak dan perempuan, serta menghancurkan infrastruktur sipil seperti sekolah dan pusat medis.

Namun demikian, dalam pernyataan resminya, Kamboja Menunjukkan Niat Untuk Tidak Memperpanjang Konflik. Hun Manet menyampaikan bahwa pihaknya “siap menghentikan seluruh operasi militer secara segera dan tanpa syarat. Jika Thailand juga menghentikan semua aksi militer dan kembali ke meja perundingan.

“Kami masih percaya bahwa konflik ini bisa di selesaikan secara damai, melalui di alog antarbangsa yang bermartabat. Kamboja tidak ingin perang. Rakyat kami sudah cukup menderita,” tambahnya.

Kementerian Luar Negeri Kamboja juga secara resmi mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal ASEAN dan Dewan Keamanan PBB. Memohon intervensi diplomatik untuk meredakan ketegangan. Kamboja juga menyambut baik inisiatif mediasi dari Amerika Serikat, yang di pimpin langsung oleh mantan Presiden Donald Trump. Pemerintah Kamboja menyatakan terbuka untuk berpartisipasi dalam gencatan senjata yang di mediasi oleh pihak ketiga yang netral Perang.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait