
Invasi Rusia Ke Ukraina : Operasi Militer Atau Agresi Brutal?
Invasi Rusia Ke Ukraina : Operasi Militer Atau Agresi Brutal?

Invasi Rusia Ke Ukraina Merupakan Konflik Bersenjata Yang Meletus Pada 24 Februari 2022 Mengubah Wajah Geopolitik Dunia Secara Dramatis. Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut serangan itu sebagai “operasi militer khusus” dengan tujuan “membebaskan” wilayah Donbas dan “mendenazifikasi” Ukraina. Namun, di mata banyak pihak internasional, tindakan ini di nilai sebagai agresi brutal yang melanggar hukum internasional dan mengancam kedaulatan sebuah negara berdaulat.
Narasi Resmi Rusia: Operasi Pembebasan
Dalam pidato resminya, Presiden Putin menegaskan bahwa tindakan Rusia di perlukan untuk melindungi rakyat yang berbahasa Rusia di Ukraina timur dari “genosida” yang, menurutnya, di lakukan oleh pemerintah Ukraina. Rusia berargumen bahwa Ukraina di bawah Presiden Volodymyr Zelensky telah bertransformasi menjadi negara yang di kendalikan oleh kekuatan “nasionalis ekstrem” yang mengancam keselamatan etnis Rusia di wilayah tersebut.
Klaim ini menjadi dasar utama justifikasi Moskow untuk mengerahkan ribuan pasukan ke wilayah Ukraina, meski tidak sedikit pengamat yang menyatakan bahwa tuduhan tersebut tidak didukung bukti kuat. Dalam beberapa kesempatan, Rusia juga mengkritik perluasan NATO ke timur sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasionalnya, sesuatu yang semakin memperkeruh ketegangan Invasi Rusia.
Persepsi Dunia: Sebuah Invasi dan Agresi Brutal
Sebaliknya, mayoritas negara Barat dan organisasi internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengecam keras tindakan Rusia sebagai bentuk invasi ilegal. Dewan Umum PBB dalam resolusi yang di dukung oleh lebih dari 140 negara mengecam invasi tersebut dan menuntut penarikan pasukan Rusia dari wilayah Ukraina.
Serangan-serangan ke infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit, sekolah, dan pembangkit listrik, memperkuat tuduhan bahwa Rusia melancarkan serangan tanpa memedulikan hukum humaniter internasional. Amnesty International dan Human Rights Watch mendokumentasikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang di lakukan selama operasi ini Invasi Rusia.
Menyerukan Penghentian Penggunaan Kekuatan Serta Penarikan Penuh
Bagi komunitas internasional, serangan Rusia ke Ukraina tidak di pandang sebagai sekadar “operasi militer”, melainkan sebagai invasi besar-besaran terhadap negara berdaulat, yang secara terang-terangan melanggar hukum internasional.
Bukti sikap global ini terlihat pada resolusi Majelis Umum PBB yang di adopsi pada Maret 2022, di mana lebih dari 140 negara mengecam tindakan Rusia dan Menyerukan Penghentian Penggunaan Kekuatan Serta Penarikan Penuh pasukan Rusia dari wilayah Ukraina. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, Inggris, Jepang, dan Australia memimpin gelombang kritik, sementara beberapa negara lain seperti China dan India mengambil posisi lebih netral atau abstain.
Tindakan Rusia di anggap sebagai pelanggaran prinsip kedaulatan nasional, yang merupakan landasan utama Piagam PBB. Dalam konteks hukum internasional, invasi terhadap negara tanpa alasan yang sah — seperti membela diri dari serangan nyata — hampir selalu di anggap sebagai bentuk agresi.
Selain itu, banyak laporan dari organisasi hak asasi manusia internasional, seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan Komisi Tinggi HAM PBB, mengungkapkan adanya dugaan pelanggaran hukum perang oleh pasukan Rusia. Di antaranya:
Penyerangan terhadap infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, apartemen, dan jalur evakuasi.
Penggunaan senjata terlarang seperti bom cluster di area padat penduduk.
Penyiksaan dan eksekusi terhadap tahanan sipil dan militer Ukraina.
Semua ini memperkuat citra Rusia di mata dunia sebagai negara agresor, bukan sekadar pelaku operasi militer terbatas.
Maka kemudian di samping kecaman politik, respons internasional juga di wujudkan melalui sanksi ekonomi berat terhadap Rusia, termasuk pembekuan aset bank, larangan ekspor teknologi penting, dan pembatasan perdagangan energi. Dunia usaha pun bereaksi: puluhan perusahaan multinasional menghentikan operasi mereka di Rusia.
Invasi Rusia Ke Ukraina Mengklaim Bahwa Warga Di Wilayah Donetsk Dan Luhansk Miliki Mereka
Maka kemudian dari sudut pandang resmi Kremlin, apa yang terjadi di Ukraina sejak 24 Februari 2022 bukanlah invasi, melainkan “operasi militer khusus” yang, menurut Presiden Vladimir Putin, bertujuan untuk melindungi rakyat dan mengamankan wilayah.
Ada beberapa narasi utama yang di jadikan dasar pembenaran:
Melindungi Etnis Rusia di Ukraina Timur
Maka kemudian Invasi Rusia Ke Ukraina Mengklaim Bahwa Warga Di Wilayah Donetsk Dan Luhansk Miliki Mereka, dua daerah di Ukraina timur yang di dominasi etnis Rusia, telah mengalami penganiayaan dan “genosida” oleh pemerintah Ukraina. Oleh karena itu, intervensi militer di nyatakan perlu untuk menyelamatkan komunitas ini dari kekerasan.
“Denazifikasi” Ukraina
Maka kemudian Kremlin menuduh bahwa pemerintah Ukraina telah “di infiltrasi” oleh kelompok nasionalis ekstrem kanan atau bahkan neo-Nazi. Meskipun Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, sendiri adalah seorang Yahudi dan keluarganya merupakan korban Holocaust. Tuduhan ini banyak di anggap tidak berdasar oleh komunitas internasional, tetapi terus di jadikan justifikasi utama untuk operasi militer.
Menangkal Ancaman NATO
Maka kemudian Rusia menilai ekspansi NATO ke wilayah Eropa Timur sebagai ancaman langsung terhadap keamanannya. Ukraina yang semakin dekat dengan Barat di persepsikan sebagai bahaya strategis. Sehingga Rusia merasa perlu mengambil tindakan “preventif” untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Menegakkan Hak untuk “Intervensi Kemanusiaan”
Dalam narasi resminya, Rusia berusaha membingkai aksinya sebagai bentuk intervensi kemanusiaan untuk menyelamatkan rakyat di Donbas. Meskipun dalam praktiknya, pendekatan militer yang di lakukan bersifat ofensif dan luas, jauh melampaui wilayah tersebut. Namun, sebagian besar dunia memandang narasi ini sebagai dalih politik yang di gunakan untuk membenarkan tindakan ekspansi militer.
Amerika Serikat Menjalankan Laboratorium Senjata Biologis Rahasia Di Ukraina
Maka kemudian perang Rusia Ukraina memang melahirkan berbagai teori konspirasi yang beredar luas, baik di kalangan pendukung Rusia, pendukung Ukraina. Maupun di tengah masyarakat global yang skeptis terhadap narasi resmi dari kedua pihak. Berikut beberapa teori konspirasi yang muncul terkait invasi ini:
- Teori Konspirasi: Ukraina Di kuasai Nazi Global
Maka kemudian narasi ini banyak di promosikan oleh Rusia dan beberapa simpatisan. Menyatakan bahwa Ukraina meski di pimpin oleh Presiden Volodymyr Zelensky yang berlatar belakang Yahudi. Sebenarnya telah di ambil alih oleh kelompok neo-Nazi dan nasionalis ekstrem.
>Menurut teori ini, kelompok tersebut di sebut-sebut mengendalikan militer Ukraina dan meneror minoritas Rusia di Ukraina timur.
→ Fakta: Meski ada kelompok ultranasionalis di Ukraina (seperti Batalion Azov). Mereka adalah minoritas kecil dan tidak mewakili keseluruhan pemerintahan Ukraina.
- Teori Konspirasi: Invasi Rusia Melawan “Pemerintahan Boneka Barat”
Maka kemudian sebagian narasi alternatif menyebut bahwa Rusia bukan semata-mata menyerang Ukraina. Melainkan melawan dominasi AS dan NATO yang telah memanipulasi Ukraina sebagai alat untuk menekan Rusia.
Dalam skenario ini, Ukraina di pandang bukan sebagai korban, melainkan sebagai “bidak” dalam perang proksi antara Barat dan Rusia.
- Teori Konspirasi: Biolab Rahasia AS di Ukraina
Teori ini sempat beredar kuat, mengklaim bahwa Amerika Serikat Menjalankan Laboratorium Senjata Biologis Rahasia Di Ukraina. Yang konon menjadi alasan Rusia merasa perlu menyerang.
→ Fakta: Ada program kolaborasi kesehatan publik antara Ukraina dan AS. Yang fokus pada pengamanan patogen berbahaya, tetapi tidak ada bukti adanya program senjata biologis ofensif. Maka kemudian laporan resmi dari PBB tidak menemukan bukti pelanggaran Invasi Rusia.