
Hilang, Terluka, Terlupakan : Sisi Kelam Tragedi Krisis Tahun 1998
Hilang, Terluka, Terlupakan : Sisi Kelam Tragedi Krisis Tahun 1998

Hilang Kah Di Ingatan Kita Demo 98 Adalah Serangkaian Aksi Unjuk Rasa Mahasiswa Yang Terjadi Pada Mei 1998 Dan Menjadi Momen Penting Dalam Sejarah. Gerakan ini dipicu oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 serta ketidakpuasan terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Latar Belakang Demo 98
Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang parah akibat dampak dari krisis finansial Asia. Nilai rupiah anjlok drastis, inflasi melonjak, harga kebutuhan pokok meningkat tajam, dan tingkat pengangguran semakin tinggi. Kondisi ini memicu ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Soeharto yang sudah berkuasa selama lebih dari tiga dekade.
Selain faktor ekonomi, pemerintahan Orde Baru juga di kenal dengan sistem politik yang otoriter, korupsi yang merajalela, serta pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini membuat mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia turun ke jalan untuk menuntut reformasi dan perubahan pemerintahan Hilang.
Puncak Aksi dan Tragedi Trisakti
Aksi demonstrasi yang semakin membesar mencapai puncaknya pada 12 Mei 1998 dengan terjadinya Tragedi Trisakti. Dalam peristiwa ini, empat mahasiswa Universitas Trisakti—Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie—tewas di tembak oleh aparat keamanan saat melakukan aksi damai di Jakarta.
Tragedi ini semakin menyulut amarah rakyat. Pada 13–15 Mei 1998, terjadi kerusuhan di berbagai kota, terutama di Jakarta, di mana banyak toko dan properti di bakar serta terjadi aksi penjarahan. Beberapa laporan juga mencatat adanya kekerasan terhadap etnis Tionghoa selama kerusuhan tersebut. Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan besar dari mahasiswa, masyarakat, serta elite politik, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri. Jabatan presiden kemudian di serahkan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie Hilang.
Salah Satu Aspek Kelam Dari Demo 98 Adalah Kekerasan Yang Dialami Oleh Etnis Tionghoa Di Indonesia
Salah Satu Aspek Kelam Dari Demo 98 Adalah Kekerasan Yang Dialami Oleh Etnis Tionghoa Di Indonesia, terutama dalam kerusuhan yang terjadi pada 13–15 Mei 1998. Selama periode tersebut, terjadi penyerangan terhadap warga keturunan Tionghoa, termasuk perusakan properti, penjarahan, pembakaran toko dan rumah, hingga kekerasan fisik dan pelecehan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa.
Latar Belakang Sentimen Anti-Tionghoa
Ketegangan antara masyarakat pribumi dan etnis Tionghoa di Indonesia memiliki sejarah panjang, terutama sejak era kolonial Belanda yang menerapkan politik segregasi sosial. Selama Orde Baru, banyak kebijakan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa, seperti larangan penggunaan nama Tionghoa, pembatasan dalam bidang politik, serta kewajiban memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Dalam situasi krisis ekonomi 1997-1998, etnis Tionghoa sering di jadikan kambing hitam karena mereka mendominasi sektor ekonomi. Hal ini memperburuk sentimen anti-Tionghoa dan akhirnya memicu kekerasan dalam kerusuhan Mei 1998.
Bentuk Kekerasan yang Di alami Etnis Tionghoa
Penjarahan dan Pembakaran Properti
Banyak pusat perbelanjaan, toko, rumah, serta kendaraan milik etnis Tionghoa yang menjadi sasaran perusakan dan pembakaran. Beberapa kawasan yang terkena dampak parah adalah Glodok dan Mangga Dua di Jakarta, yang merupakan pusat perdagangan etnis Tionghoa.
Kekerasan Fisik dan Pembunuhan
Dalam beberapa insiden, warga etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan fisik, termasuk pemukulan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan. Sebagian korban di laporkan terjebak di dalam bangunan yang sengaja di bakar. Salah satu tragedi paling mengerikan adalah kasus pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa. Laporan dari berbagai organisasi hak asasi manusia menyebutkan bahwa puluhan hingga ratusan perempuan mengalami pelecehan seksual dan pemerkosaan selama kerusuhan.
Apakah Kita Sudah Hilang Ingatan Bahwa Demokrasi Adalah Sistem Pemerintahan Yang Menjamin Kebebasan
Maka kemudian Apakah Kita Sudah Hilang Ingatan Bahwa Demokrasi Adalah Sistem Pemerintahan Yang Menjamin Kebebasan berpendapat, keadilan, dan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Jika demokrasi mati atau mengalami kemunduran, berbagai dampak negatif akan muncul, baik dalam aspek politik, sosial, maupun ekonomi.
- Munculnya Pemerintahan Otoriter
Maka kemudian ketika demokrasi mati, kekuasaan sering kali jatuh ke tangan segelintir orang atau satu kelompok yang tidak dapat di kontrol oleh rakyat. Ini dapat menciptakan pemerintahan otoriter yang:
Tidak memiliki mekanisme check and balance.
Menggunakan aparat negara untuk menekan oposisi.
Menghapus kebebasan pers dan membatasi informasi publik.
- Hilangnya Kebebasan Berpendapat
Maka kemudian salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan berekspresi. Jika demokrasi runtuh, kritik terhadap pemerintah bisa di anggap sebagai ancaman, yang berakibat pada:
Pemenjaraan aktivis dan jurnalis.
Sensor terhadap media dan pembatasan internet.
Meningkatnya budaya takut di masyarakat.
- Maraknya Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Maka kemudian tanpa demokrasi, transparansi dan akuntabilitas pemerintah melemah, sehingga korupsi semakin merajalela. Pemerintah yang tidak di awasi cenderung:
Menggunakan anggaran negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Memberikan keuntungan hanya kepada elit tertentu.
Memanipulasi hukum demi mempertahankan kekuasaan.
- Ketimpangan Sosial dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Dalam sistem non-demokratis, hak-hak warga sering kali diabaikan. Dampaknya antara lain:
Maka kemudian diskriminasi terhadap kelompok tertentu, baik berdasarkan etnis, agama, maupun pandangan politik.
Peningkatan represi terhadap minoritas atau oposisi.
Hilangnya perlindungan hukum bagi rakyat kecil.
- Ketidakstabilan Politik dan Meningkatnya Konflik Sosial
Maka kemudian Matinya demokrasi bisa menyebabkan ketidakpuasan rakyat yang berujung pada:
Gelombang protes dan demonstrasi besar-besaran.
Maka kemudian Bentrokan antara rakyat dengan aparat keamanan.
Munculnya kelompok perlawanan yang ingin menggulingkan kekuasaan.
ABRI Memiliki Peran Dominan Dalam Politik Indonesia Melalui Doktrin Dwi Fungsi ABRI, Yang Memberikan Militer Peran Ganda:
Maka kemudian konflik antara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan kelompok sipil menjadi bagian penting dalam sejarah politik Indonesia, terutama pada masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi. Ketegangan ini muncul akibat perbedaan kepentingan politik, kontrol terhadap kekuasaan, serta perubahan peran militer dalam pemerintahan.
- Latar Belakang Ketegangan ABRI dan Sipil
Maka kemudian sejak era Orde Baru, ABRI Memiliki Peran Dominan Dalam Politik Indonesia Melalui Doktrin Dwi Fungsi ABRI, Yang Memberikan Militer Peran Ganda:
Sebagai alat pertahanan negara.
Sebagai kekuatan sosial-politik yang ikut serta dalam pemerintahan.
Maka kemudian hal ini membuat ABRI tidak hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga mengendalikan berbagai aspek politik, ekonomi, dan sosial. Ketika reformasi mulai mengguncang Orde Baru, ketegangan antara kelompok sipil yang menginginkan demokratisasi dan ABRI yang ingin mempertahankan pengaruhnya semakin meningkat.
- Gejolak ABRI vs Sipil dalam Reformasi 1998
Maka kemudian pada saat demonstrasi mahasiswa dan gerakan reformasi semakin kuat di tahun 1998, ABRI berada di posisi yang sulit. Di satu sisi, mereka bertugas menjaga stabilitas negara, tetapi di sisi lain, mereka juga harus menghadapi tuntutan rakyat yang mendesak perubahan. Gejolak antara ABRI dan kelompok sipil dalam sejarah Indonesia, terutama pada masa Reformasi 1998, mencerminkan benturan kepentingan antara militer yang ingin. Maka kemudian mempertahankan kekuasaan dan gerakan rakyat yang menginginkan demokrasi. Meski reformasi berhasil mengurangi dominasi militer dalam politik, dinamika hubungan sipil-militer masih terus berkembang dalam pemerintahan Indonesia hingga saat ini Hilang.