Demokrasi
Demokrasi Taiwan vs Komunisme China, Pertanda World War III?

Demokrasi Taiwan vs Komunisme China, Pertanda World War III?

Demokrasi Taiwan vs Komunisme China, Pertanda World War III?

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Demokrasi
Demokrasi Taiwan vs Komunisme China, Pertanda World War III?

Demokrasi Konflik Antara Taiwan Dan China Tidak Hanya Mencerminkan Perbedaan Geopolitik Para Pengamat Takut Akan Datangnya World War III. Dan gaya hidup yang sangat berbeda: demokrasi liberal yang tumbuh subur di Taiwan, berhadapan dengan sistem komunisme otoriter yang masih di jaga ketat oleh Pemerintah China. Perselisihan ini melampaui batas-batas politik dan menyentuh nilai-nilai dasar kehidupan, seperti kebebasan, ekspresi, dan hak individu.

Taiwan: Wajah Demokrasi Asia Timur

Taiwan, meski secara resmi masih di anggap provinsi oleh China, telah menjadi simbol demokrasi yang sukses di Asia Timur. Sejak transisinya dari kediktatoran militer menuju demokrasi penuh pada akhir 1980-an, Taiwan telah menyelenggarakan pemilu langsung, kebebasan pers, dan sistem checks and balances yang kuat. Di negara ini, warga bebas mengekspresikan pendapat, mengkritik pemerintah, bahkan memilih pemimpin mereka tanpa intervensi negara.

Gaya hidup masyarakat Taiwan sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip demokrasi tersebut. Anak muda di Taipei dan kota-kota besar lainnya tumbuh dalam budaya keterbukaan, inovasi, dan kebebasan berpendapat. Media sosial bebas di gunakan, diskusi politik terbuka di mana-mana, dan organisasi masyarakat sipil berkembang pesat Demokrasi.

China: Stabilitas dalam Sistem Satu Partai

Sebaliknya, Republik Rakyat Tiongkok mempertahankan sistem satu partai yang di kendalikan oleh Partai Komunis China (PKC). Dalam sistem ini, kebebasan politik sangat di batasi. Pemerintah mengontrol media, mengawasi internet, dan menindak tegas perbedaan pendapat yang di anggap mengganggu stabilitas nasional. Meski secara ekonomi China semakin liberal, politik tetap berada dalam kendali yang ketat.

Gaya hidup masyarakat China pun di bentuk dari struktur ini. Stabilitas dan pertumbuhan ekonomi di prioritaskan di atas hak individu. Sensor internet dan pengawasan digital seperti “sistem kredit sosial” menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari Demokrasi.

PBB Juga Menghadapi Tekanan Dari Komunitas Internasional

PBB sebagai organisasi internasional yang menjunjung tinggi kedaulatan dan perdamaian dunia, memiliki posisi yang kompleks dalam merespons ketegangan antara Taiwan dan China. Meski Taiwan berkembang sebagai negara demokrasi yang maju dan modern, PBB secara resmi tidak mengakui Taiwan sebagai negara anggota karena adanya prinsip “satu China” yang di klaim oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Sejak tahun 1971, posisi Taiwan di PBB secara resmi di gantikan oleh RRT melalui Resolusi Majelis Umum PBB 2758. Resolusi ini menyatakan bahwa “Republik Rakyat Tiongkok adalah satu-satunya perwakilan sah China di PBB,” yang secara otomatis mengecualikan Taiwan dari keanggotaan atau pengakuan sebagai negara merdeka di organisasi dunia tersebut. Hal ini menjadi dasar hukum yang di gunakan oleh PBB dan banyak negara anggota untuk menolak keterlibatan resmi Taiwan dalam berbagai badan PBB.

Namun, dalam praktiknya, isu Taiwan tetap menjadi perhatian PBB, terutama dalam hal kemanusiaan, hak asasi manusia, dan stabilitas kawasan. Sekretaris Jenderal PBB beberapa kali menyerukan agar semua pihak menahan diri dari tindakan provokatif yang dapat meningkatkan ketegangan di Selat Taiwan. PBB menekankan pentingnya penyelesaian damai melalui dialog dan menghormati prinsip-prinsip Piagam PBB, termasuk non-intervensi dan penyelesaian konflik secara damai.

PBB Juga Menghadapi Tekanan Dari Komunitas Internasional, terutama negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa, yang mendorong partisipasi Taiwan dalam forum-forum global, seperti WHO dan ICAO. Mereka berargumen bahwa Taiwan memiliki kapasitas teknis dan pengalaman yang relevan, terutama dalam penanganan pandemi dan isu penerbangan internasional. Meski begitu, PBB tetap menolak permintaan tersebut dengan alasan tidak adanya pengakuan resmi terhadap Taiwan sebagai negara anggota.

Keinginan Xi Jinping Minimbulkan Untuk Demokrasi Merebut Taiwan Bukan Sekadar Ambisi Politik Sesaat

Keinginan Xi Jinping  Untuk Merebut Demokrasi Taiwan Bukan Sekadar Ambisi Politik Sesaat, melainkan bagian dari visi besar nasionalisme Tiongkok dan agenda reunifikasi yang telah menjadi bagian dari narasi Partai Komunis China (PKC) sejak lama. Bagi China, Taiwan bukanlah negara terpisah, melainkan provinsi yang membangkang sejak akhir Perang Saudara China pada 1949, ketika pemerintahan nasionalis (Kuomintang) mundur ke Pulau Taiwan setelah kalah dari kaum komunis.

  1. Isu Kedaulatan dan Reunifikasi Nasional

Salah satu alasan utama adalah soal kedaulatan. Pemerintah China secara tegas menganut prinsip “Satu China,” yaitu bahwa hanya ada satu negara bernama China dan Taiwan adalah bagian dari wilayahnya. Dalam pandangan Beijing, pengakuan terhadap kemerdekaan Taiwan adalah bentuk pelanggaran kedaulatan nasional dan ancaman terhadap integritas teritorial negara. Xi Jinping berkali-kali menegaskan bahwa “reunifikasi dengan Taiwan adalah misi sejarah dan takdir bangsa China.”

  1. Legitimasi Politik dan Warisan Kepemimpinan

Bagi Xi Jinping, merebut kembali Taiwan juga menyangkut legitimasi politik dan warisan kepemimpinan. Dalam sejarah modern China, belum ada pemimpin yang berhasil “menyatukan kembali” Taiwan dengan daratan utama. Jika Xi berhasil melakukannya, ia akan di kenang sebagai tokoh besar dalam sejarah PKC, sejajar atau bahkan melampaui Mao Zedong dan Deng Xiaoping. Hal ini penting untuk memperkuat posisinya yang kini sangat dominan di dalam negeri.

  1. Pertimbangan Geostrategis dan Ekonomi

Taiwan memiliki posisi strategis di Asia Timur dan terletak di jalur pelayaran internasional penting. Pulau ini juga menjadi pusat industri semikonduktor dunia, dengan perusahaan seperti TSMC yang memproduksi chip canggih yang di butuhkan dalam teknologi modern. Menguasai Taiwan akan memberi China keunggulan besar dalam bidang teknologi dan kontrol kawasan maritim.

Amerika Serikat Memainkan Peran Sentral Dalam Konflik Ini

Isu Taiwan bukan lagi sekadar urusan domestik antara Beijing dan Taipei, melainkan telah menjadi medan tarik ulur geopolitik yang melibatkan kekuatan global. Ketegangan antara China dan Taiwan menciptakan di namika rumit yang mempertemukan kepentingan berbagai negara besar, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, dalam menghadapi pengaruh China yang terus berkembang di panggung internasional.

  1. Amerika Serikat: Pelindung Tak Resmi Taiwan

Amerika Serikat Memainkan Peran Sentral Dalam Konflik Ini. Meskipun secara resmi mengakui prinsip “Satu China” sejak 1979 dan tidak memiliki hubungan di plomatik formal dengan Taiwan, AS tetap menjadi pendukung utama Taiwan melalui penjualan senjata, kunjungan pejabat tinggi, dan komitmen tidak resmi untuk mempertahankan pulau tersebut jika di serang.

Maka kemudian Undang-Undang Hubungan Taiwan (Taiwan Relations Act) memberi dasar hukum bagi AS untuk membantu Taiwan mempertahankan diri. Ini menjadi titik panas yang membuat Beijing geram, karena di anggap sebagai bentuk campur tangan dalam urusan dalam negeri China. Bagi Washington, Taiwan adalah mitra strategis dalam menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik dan sebagai penyeimbang kekuatan militer dan politik China.

  1. Sekutu Barat dan Kepentingan Global

Negara-negara Barat lainnya, seperti Jepang, Inggris, dan negara-negara Uni Eropa. Maka kemudian juga menunjukkan dukungan moral dan ekonomi kepada Taiwan, meskipun tidak secara terang-terangan menyuarakan dukungan atas kemerdekaannya. Bagi mereka, Taiwan adalah simbol demokrasi yang perlu di jaga di tengah meningkatnya otoritarianisme global.

Isu Taiwan menjadi indikator penting bagi kredibilitas dunia Barat. Maka kemudian dalam mempertahankan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi. Ketika Taiwan di tekan oleh China, pertanyaannya bukan hanya tentang nasib sebuah pulau Demokrasi .

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait